Katon, katon.
Kursi kayu sederhana yang bergoyang membuat suara lembut sambil mengayun ke depan dan belakang di beranda.
Cahaya matahari lembut di akhir musim gugur bersinar melalui puncak pohon cemara. Hembusan angin ringan dengan lembut bertiup sepanjang permukaan danau yang jauh.
Pipinya berbaring di atas dadaku sembari ia bernafas dengan lembut dan tertidur pulas.
Waktu itu, yang terisi oleh ketenangan emas, terus mengalir dengan mantap.
Katon, katon.
Aku menggoyangkan kursi dan dengan lembut membelai rambut warna kastanye gadis ini. Meski dia sudah tertidur, senyum tipis muncul di bibirnya.
Sekelompok Sprite tengah bermain di halaman depan. Kukusan daging di dapur tengah mendidih dengan suara rebusan yang terdengar jelas. Aku berharap dunia lembut ini, di rumah kecil yang jauh di dalam hutan, akan berlanjut untuk selama lamanya. Namun aku sadar kalau ini adalah harapan mustahil.
Katon, katon.
Seiring kaki kursi terus membuat suara, jam pasir terus berjatuhan satu butir pada satu waktu.
Aku mencoba menarik si gadis lebih dekat ke dadaku seolah aku melawan takdir.
Namun, lenganku hanya bisa memeluk udara tipis.
Aku dengan cepat membelalakkan mata kebingunganku. Tubuhnya, yang bersandar padaku beberapa saat lalu, mendadak lenyap sama sekali. Aku berdiri dari kursi dan melihat ke sekeliling area.
Seperti jatuhnya tirai dari sebuah pentas, warna matahari senja perlahan menjadi gelap. Kegelapan menakutkan mulai mewarnai seluruh hutan menjadi gelap gulita.
Aku berdiri tegak di angin musim dingin dan memanggil namanya.
Namun tak ada balasan. Tak ada di taman depan dimana para Sprite tengah bermain, atau di dapur – sosoknya tak bisa ditemukan dimana mana.
Sebelum aku menyadarinya, seluruh rumah mulai dikelilingi oleh kegelapan. Perabot rumah dan dinding mulai runtuh dan lenyap seolah mereka semua terbuat dari kertas. Hanya kursi yang bergoyang dan aku sendiri yang masih tersisa dibalik kegelapan ini. Biarpun tak ada siapapun yang duduk di atas kursi, ia terus mengayun ke depan dan belakang tanpa berubah.
Katon, katon.
Katon, katon.
Aku menutup mataku, menajamkan telingaku, dan mengumpulkan seluruh kekuatanku untuk memanggil namanya.
Mataku dengan cepat terbuka oleh suara yang cerah dan keras. Aku tak lagi tahu apakah aku berteriak hanya di dalam mimpi atau aku benar benar melakukan itu di dunia nyata.
Berbaring diatas ranjang, aku menutup mataku dan mencoba kembali ke permulaan mimpiku. Namun aku segera menyerah, dan setelah beberapa saat aku perlahan membuka mataku sekali lagi.
Papan kayu tipis memasuki bidang pandanganku bukannya panel putih di dinding rumah sakit. Aku tengah terbaring di atas kasur lembut di atas seprai katun bukannya material dari gel.
Ini adalah – kamar Kirigaya Kazuto di dunia nyata.
Aku mengangkat tubuh bagian atasku dan melihat ke sekelilingku. Kamar 6 tatami memiliki lantai tak biasa yang terbuat dari kayu alami. Hanya tiga potong perabot bisa ditemukan di dalam ruangan; sebuah hard drive komputer, sebuah router, dan ranjang tempatku duduk.
Sebuah headgear yang nampak usang terletak di tengah tengah Router yang diangkat secara vertikal.
Namanya adalah «Nerve Gear», sebuah model interface model full dive yang telah memenjaraku dalam virtual reality selama dua tahun. Setelah pertarungan panjang dan sulit, aku akhirnya lepas dari mesin itu, dan akhirnya bisa melihat, merasakan, dan menyentuh dunia nyata.
Ya, aku telah kembali.
Namun, si gadis yang mengayunkan pedangnya dan menyatukan hatinya denganku..........
Rasa sakit mendadak menyerang dadaku, dan aku mengalihkan pandanganku dari Nerve Gear dan perlahan berdiri. Aku menatap cermin yang menggantung di dinding. Panel EL yang terpasang di dinding dengan jelas menampilkan tanggal dan waktu saat ini.
Senin, 19 Januari, 2025, 7:15 am.
Satu bulan telah berlalu sejak aku kembali ke dunia nyata, namun aku masih tak bisa terbiasa dengan penampilanku. Meski pendekar pedang Kirito dan Kirigaya Kazuto saat ini seharusnya memiliki penampilan sama, kehilangan bobot tubuhku masih belum pulih, jadi tubuh yang hanya tinggal tulang di bawah T-Shirt ku sangatlah rapuh.
Aku mendadak menyadari dua garis air mata bersinar di wajahku di cermin dan menyekanya dengan tangan kananku.
“Aku sudah kembali jadi orang cengeng...........Asuna.”
Aku bergumam dan berjalan ke jendela besar di sisi selatan kamarku. Aku membuka korden dengan kedua tanganku, dan cahaya matahari menyilaukan di pagi musim dingin mewarnai seluruh kamarku dalam kuning pucat.
Kirigaya Suguha nampak sangat senang sembari ia berjalan sepanjang es di halaman depan dan kemudian mempercepat langkahnya.
Salju yang jatuh dua hari lalu belum meleleh sama sekali, dan pagi hari di tengah Januari terasa sangat dingin.
Dia berhenti di sudut sebuah kolam, yang tertutupi oleh lapisan es tipis, dan mengayunkan Shinai[1] di tangan kanannya ke bawah ke arah batang pinus di dekatnya. Untuk mengusir rasa kantuk menyebalkan dari tubuhnya, dia mengambil beberapa napas dalam, menempatkan kedua tangan di lututnya, dan memulai latihan peregangannya.
Ototnya, yang belum bangkit secara penuh, perlahan mulai mengendur. Usai meregangkan lutut, ia mulai merasakan sensasi seolah darah mulai mengalir di lutut dan sikutnya.
Suguha merentang untuk mencapai ke bawah dengan kedua tangannya, perlahan membengkokkan punggungnya – sampai dia perlahan berhenti. Es lembut yang membentuk permukan danau mencerminkan penampilannya kembali padanya.
Rambut pendeknya, dipotong di atas alisnya dan segaris dengan bahunya, berwarna hitam dengan semburat biru. Alisnya membagi warna hitam yang sama dan kelihatan tebal, dimana dua mata yang terisi oleh semangat tinggi terletak di bawahnya. Bersama, penampilannya nampak seperti anak laki laki. Dogi[2] putih tradisional dan hakama[3]hitam panjang yang dia kenakan justru semakin menonjolkan kesan itu.
“--------Sudah kuduga......aku sama sekali tidak mirip......Onii-chan ku......”
Itu adalah pemikiran yang sering mengisi pikirannya pada hari hari ini. Dia memikirkan hal itu kapanpun dia melihat wajahnya sendiri di pintu masuk kamar mandi. Bukannya dia tak suka pada penampilannya; toh sejak awal dia tak terlalu mempedulikan hal itu. Namun sejak kakaknya Kazuto kembali ke rumah ini, pikirannya terus tanpa sadar membuat perbandingan.
“---------Percuma saja, nggak peduli berapa kalipun aku memikirkannya.”
Suguha menggeleng kepala bandelnya dan melanjutkan peregangan.
Setelah ia selesai melakukan peregangan, ia mengambil shinai yang diletakkan bersandar di pinus hitam. Dia menggenggamnya, merasakan familiaritas dari telapak tangannya oleh pemakaiannya yang sudah lama; kemudian dia meluruskan punggungnya dan memasang kuda kuda siaga.
Ia mengambil nafas dalam dalam sambil mempertahankan kuda kudanya – Kemudian dalam sekejap, dengan semangat tajam, dia menikam lurus ke depan dengan shinainya. Pergerakan tegasnya nampak seolah memotong udara pagi, yang mengagetkan sejumlah burung gereja hingga mereka semua terbang ke arah cabang jauh di depan sana.
Rumah keluarga Kirigaya adalah rumah Jepang kuno yang berdiri sepanjang jalanan lama di Saitama selatan. Seluruh anggota keluarga telah tinggal disini, karena kakek Suguha, yang sudah meninggal empat tahun lalu, adalah orang yang sangat tegas dan bergaya jadul.
Dia bekerja di kepolisian selama beberapa tahun dan merupakan praktisi kendo terkenal sepanjang masa mudanya. Dia berharap kalau putra satu satunya, yang merupakan ayah Suguha, akan melanjutkan jejaknya pada jalan kendo. Ayahnya sudah menguasai shinai sejak di bangku SMA, namun kemudian berhenti melakukannya untuk belajar ke Amerika dan akhirnya mendapat pekerjaan di perusahaan keamanan keuangan luar negeri. Setelah dipindahkan ke cabang Jepang, dia bertemu dan menikahi ibu Suguha, Midori. Namun melanjutkan kehidupan rutin dengan bepergian sepanjang samudra pasifik. Pada saat itu, kakek Suguha telah mengarahkan keinginannya pada Suguha dan Kazuto yang setahun lebih tua darinya.
Suguha dan kakaknya dibuat mengikuti kendo dojo di sebelah rumahnya sepanjang di bangku SD. Namun karena pengaruh Ibunya sebagai editor di majalah sistem komputer, kakaknya menyukai keyboard melebihi shinai dan meninggalka dojo selama dua tahun. Namun, Suguha tak seperti kakaknya. Ia telah menemukan ketertarikan pada kendo dan terus melatih teknik shinainya bahkan setelah kakeknya meninggal.
Suguha saat ini berusia lima belas tahun. Tahun lalu, dia berhasil terus maju dalam kompetisi SMP dan mendapat peringkat sebagai salah satu pemain terbaik negara. Saat musim semi, ia telah direkrut oleh salah satu SMA paling terkenal di prefektur.
Namun----
Di masa lalu, dia belum pernah kehilangan jalannya untuk terus maju. Dia sangat menyukai kendo; bukan hanya karena bisa menjawab harapan orang orang di sekelilingnya, namun juga membuatnya senang.
Namun dua tahun lalu, saat kakaknya terlibat dalam insiden yang mengguncang seluruh Jepang, kegundahan menyerbu hatinya. Siapapun bisa berkata kalau dia sangat menyesal. Bahkan sejak kakaknya menyerah dalam kendo saat Suguha berusia tujuh tahun, celah yang lebar mulai terbentuk diantara mereka berdua, dan Suguha sangat menyesal karena dia tak pernah membuat usaha untuk menutup celah itu.
Kakaknya yang telah membuang shinai meluangkan harinya tenggelam dalam komputer, seolah untuk memuaskan rasa dahaganya yang tersisa. Ia membangun sebuah mesin dari bagian bagian kecil dan membantu ibunya memprogramnya saat dia masih siswa sekolah dasar. Bagi Suguha, hal hal yang Kazuto ucapkan seolah menjadi bahasa asing.
Tentu saja, sekolah juga mengajarkan Suguha untuk menggunakan komputer, dan ia memiliki komputer mungil di kamarnya. Namun, pengetahuannya tentang komputer hanya terbatas pada menukar email dan browsing web; mustahil baginya untuk memahami dunia yang ditinggali kakaknya. Ini khususnya adalah kasus bagi Game RPG network yang membuat kakaknya kecanduan, dimana Suguha menganggap hal itu sebagai kesia siaan. Sejak saat itu dia selalu memasang sikap palsu, namun dia merasa mustahil untuk menjadi dekat dengan orang orang yang juga berinteraksi dengan topeng palsu.
Semenjak masa kecilnya, Suguha dan kakaknya memiliki hubungan yang seperti teman terbaik. Namun saat kakaknya meninggalkannya untuk dunia yang sama sekali berbeda, Suguha mengubur rasa kesepiannya dengan mencurahkan dirinya sepenuh hati pada kendo. Jarak diantara mereka berdua terus melebar, dan percakapan sehari hari mereka terus jatuh; sebelum Suguha menyadarinya, hubungan mereka telah jatuh menjadi seperti tak saling kenal.
Namun jujur saja, Suguha terus menerus merasa kesepian. Dia ingin berbicara lebih banyak pada kakaknya. Dia ingin memahami dunia kakaknya, ingin kakaknya datang dan menonton pertandingannya.
Namun, tepat saat dia ingin mengungkapkan semua perasaan ini, insiden itu terjadi.
Insiden mimpi buruk bernama “SWORD ART ONLINE”. Sepuluh ribu pemuda dari seluruh Jepang dikonfirmasi telah terkurung oleh sangkar elektronik dan jatuh ke dalam tidur panjang.
Kakaknya telah dipindahkan ke rumah sakit besar di Saitama. Kemudian, saat pertama kalinya Suguha datang untuk menjenguknya........
Saat ia melihat kakaknya yang koma, terbaring di atas ranjang dengan sejumlah kabel dan tertutupi oleh head gear mengerikan, Suguha tak kuasa menahan tangisnya. Itu adalah pertama kalinya dia menangis semenjak lahir. Dia memeluk kakaknya erat erat dan menangis dengan keras.
Mungkin tak akan ada kesempatan untuk berbincang bincang lagi dengannya. Kenapa dia tak pernah mencoba menutup jarak diantara mereka lebih cepat? Seharusnya itu tidaklah sulit; seharusnya hal itu bisa dia lakukan.
Pada saat itulah dia mulai mempertimbangkan ulang dengan serius apakah dia harus terus berlatih kendo dan apa perasaan sejatinya. Namun dia begitu putus asa sampai tak mendapati jawaban. Sepanjang tahun keempat belas dan kelima belas saat dia tak bisa melihat kakaknya, Suguha telah memasuki SMA atas rekomendasi orang orang disekitarnya, namun apakah dia harus terus menapaki jalan ini adalah keraguan dalam hatinya yang takkan pernah lenyap.
Kalau kakaknya kembali, maka dia pasti akan banyak banyak mengobrol dengannya. Dia akan membuang semua keraguan dan kecemasannya, dan dengan jujur mengungkapkan semua isi pikirannya. Kemudian, dua bulan lalu, setelah Suguha meneguhkan keputusannya, sebuah keajaiban terjadi. Kakaknya telah mematahkan kutukan melalui kekuatannya dan kembali.
----------Namun pada poin itu, hubungannya dengan kakaknya sudah berubah secara drastis. Suguha mendengar dari ibunya Midori secara pribadi kalau Kazuto bukanlah kakak kandungnya, namun sebenarnya saudara sepupu.
Ayahnya Minetaka adalah putra satu satunya, namun ibunya Midori memiliki kakak perempuan yang meninggal lebih awal; namun, Suguha tak mengetahui semua ini. Sehingga, saat Suguha menyadari kalau Kazuto adalah putra kakak ibunya, dia menjadi semakin bingung dan tak yakin hubungan jenis apa yang harus mereka pertahankan. Haruskah mereka lebih jauh? Haruskah mereka tetap sama? Dia tak tahu bagaimana dia harus mengungkapkan dirinya tentang hubungan ini.
“.....Ya. Ada satu hal, yang nggak akan berubah........”
Saat Suguha merenungkan semua ini, dia mengayunkan shinainya ke bawah dengan tajam seolah untuk memotong semua rantai pemikirannya. Terlalu menyeramkan untuk menjalani jalan pemikiran itu, jadi dia mulai berlatih dengan shinainya untuk mengarahkan perhatiannya pergi ke tempat lain.
Saat dia menyelesaikan jumlah set yang diperlukan, sudut matahari pagi sudah berubah secara signifikan. Dia menyeka keringat di dahinya, meletakkan shinai, dan berjalan kembali ke rumahnya.......
“Ah......”
Momen dia melihat ke arah pintu, langkah kaki Suguha tiba tiba membeku.
Dia tak sadar kalau Kazuto, yang mengenakan baju sweater dan duduk di beranda, tengah melihat ke arahnya. Saat mata mereka bertemu, Kazuto tersenyum dan berujar.
“Selamat pagi.”
Sambil mengatakan itu, ia melempar botol air mineral di tangan kirinya pada Suguha. Suguha menangkapnya dengan tangan kanannya sebelum merespon.
“S-Selamat pagi........astaga, kalau kamu terus menontonku, seharusnya kamu mengatakan sesuatu.”
“Tapi, kelihatannya kamu lagi berkonsentrasi dengan serius.”
“Nggak juga, aku memang selalu begini.”
Suguha diam diam merasa senang karena mereka bisa berbicara dengan begitu alami terhadap satu sama lain selama dua bulan ini. Dia memilih tempat di sisi kanan Kazuto yang menjaga sedikit jarak darinya dan kemudian duduk. Meletakkan shinai di sisinya, ia membuka botol dan menempatkannya di mulutnya; air dingin meresap ke tubuh panasnya dan terasa sangat menyegarkan.
“Kulihat kamu terus melakukan itu sepanjang waktu ini.......”
Kazuto mengambil shinai Suguha dan mengayunkannya dengan ringan dengan tangan kanannya dari posisi duduknya. Ia segera memiringkan kepalanya ke sisi dan berkata:
“Ringan sekali......”
“Hah?”
Suguha mencabut botol dari mulutnya dan menatap Kazuto.
“Ini terbuat dari bambu asli, jadi sebenarnya cukup berat. Sekitar lima gram lebih berat dari yang buatan karbon.”
“Ah, uh uh. Itu......hanya perasaanku.......tapi kalau dibandingkan dengan.......”
Kazuto mendadak meraih botol dari tangan Suguha dan kemudian dengan cepat meminum semua isinya yang tersisa.
“Ah...........”
Wajah Suguha mulai memerah bahkan tanpa memikirkannya. Dia membulatkan pipinya dan berujar dengan tak senang.
“A-Apa yang kamu coba bandingkan?”
Kazuto meletakkan botol kosong di beranda dan kemudian berdiri tanpa menjawab.
“Hei, mau latih tanding denganku?”
Keheranan, Suguha menatap lurus ke wajah Kazuto.
“Maksudnya......pertandingan?”
“Ya.”
Kazuto mengangguk seolah itu hal biasa, biarpun dia sama sekali tak tertarik pada kendo.
“Bagaimana dengan alat pengaman.....?”
“Hmm, mungkin nggak masalah meski kita nggak mengenakannya........namun akan gawat kalau Suguha sampai terluka. Kupikir pengaman Kakek masih ada, jadi mari kita ke dojo.”
“Oooh.”
Suguha sama sekali melupakan keragu raguannya sejak tadi dan bertanya tanya kenapa dia malah mengatakan hal semacam itu; dia tersenyum dan berkata:
“Bukankah kamu terlalu percaya diri? Mencoba bertanding dengan finalis perempat nasional? Selain itu.......”
Ekspresi wajahnya kemudian berubah.
“Apa tubuhmu baik baik saja....? Kamu jangan ceroboh......”
“Hehe, akan kutunjukkan hasil dari latihan rehabilitasiku di gym.”
Kazuto tertawa kecil dan mulai berjalan dengan santai ke arah belakang rumah. Suguha buru buru mengikuti.
Rumah Keluarga Kirigaya cukup luas, dan sebuah dojo berdiri di sisi timur kamar ibunya. Mereka mengikuti wasiat kakek dan tak merubuhkannya, sehingga Suguha menggunakannya untuk latihan rutinnya, mempertahankannya dengan teliti, dan menyimpan semua perlengkapan disana.
Mereka berdua memasuki dojo dengan telanjang kaki, membungkuk satu sama lain, dan mulai mempersiapkan diri mereka masing masing. Beruntungnya, fisik kakeknya hampir sama dengan Kazuto; alat pelindung yang mereka keluarkan nampak tua namun pas dipakai. Setelah mereka selesai mengikat simpul headgear di saat yang sama, keduanya berjalan ke arah tengah dojo dan membungkuk satu sama lain sekali lagi.
Suguha perlahan berdiri dari posisi menundukkan badannya, menggenggam shinai favoritnya erat erat, dan mengambil posisi tegas. Sementara itu, Kazuto—
“A-Apa itu, Onii-chan?”
Usai melihat kuda kuda Kazuto, Suguha tanpa sadar tergelak. Aneh adalah satu satunya cara untuk mendeskripsikannya. Kaki kirinya dimajukan setengah tubuh ke depan, pinggangnya direndahkan, dan shinai di tangan kanannya dipegang kebawah dengan ujungnya nyaris menyentuh lantai. Tangan kirinya seolah olah memegang gagang shinai sekedar untuk penampilan.
“Kalau ada wasit disini, dia pasti akan marah melihat posisimu.”
“Nggak masalah, ini gaya pedangku.”
Suguha mengambil nafas dalam dan membenahi ulang posisinya. Kazuto semakin memperlebar jarak diantara kakinya dan menurunkan pusat gravitasinya.
Suguha berpikir untuk menyerbu maju dengan kekuatan penuh untuk mendaratkan serangan kuat ke arah lawannya. Namun kuda kuda aneh Kazuto membuatnya tak yakin harus berbuat apa. Meski ada celah, tak mudah memanfaatkan celah itu. kuda kuda itu nampak seperti hasil dari pengalaman bertahun tahun—
Namun, itu tidak mungkin. Kazuto hanya memegang shinai selama dua tahun saat dia berumur tujuh dan delapan tahun. Dia hanya bisa mempelajari dasar dasar teknik selama waktu itu.
Seolah menyadari kebingungan Suguha, Kazuto mendadak mulai bergerak. Dia menyerbu dalam sudut rendah seolah dia meluncur dan shinainya melompat ke atas dari bagian kanan bawahnya. Itu bukan kecepatan yang perlu dikejutkan, namun karena itu adalah serangan tiba tiba, Suguha harus bergerak secara refleks. Dan dengan kaki kanannya terbuka lebar—
“Kote!!” [4]
Suguha mengayun kebawah ke lengan kiri bawah Kazuto. Seharusnya itu waktu yang sempurna, namun serangannya hanya menebas udara kosong.
Itu adalah elakan yang sulit dipercaya. Kazuto telah melepaskan tangan kirinya dari gagang shinai, dan melemparnya ke arah tubuhnya. Apa itu mungkin dilakukan? Ditargetkan pada Suguha, yang dibuat terkejut, shinai yang dipegang oleh tangan kanan Kazuto sendiri menyerbu ke depan. Kebingungan, Suguha dengan panik mengelak.
Di saat keduanya bertukar posisi, telah menolehkan kepala untuk menghadap satu sama lain sambil mereka mengambil jarak lagi, kesadaran Suguha telah berubah drastis. Ketegangan menyenangkan mengisi seluruh tubuhnya, seolah darahnya mendidih. Kali ini, giliran Suguha untuk menyerang. Teknik andalannya, serangan lengan bawah—
Namun kali ini juga, Kazuto berhasil mengelak dengan lincah. Dia menarik lengannya ke belakang, memutar tubuhnya, dan membiarkan shinai Suguha untuk lewat dengan jarak setipis kertas. Suguha lagi lagi kebingungan. Serangan berkecepatan tingginya sangat diakui di dalam klub, dan dia tak ingat adegan dimana seseorang berhasil mengelak dari semua serangan berturut turutnya.
Menjadi serius, Suguha memulai serangan gencar. Dia menikamkan ujung shinai secara terus menerus. Menyerang lebih cepat dari nafas seseorang. Namun Kazuto terus mengelak dan mengelak. Pergerakan cepat di mata Kazuto membuatnya seolah dia sudah memahami semua pergerakan shinai Suguha.
Jengkel, Suguha dengan paksa menutup jarak dan mengunci shinainya ke arah kazuto. Menghadapi kaki dan tubuh Suguha yang sudah terlatih, Kazuto mulai terhuyung huyung di bawah tekanan luar biasa. Tanpa membiarkannya kabur, Suguha merebut momen untuk melancarkan serangan penghabisan yang diarahkan secara langsung ke kepala Kazuto.
“Men!!” [5]
‘Ah’, Suguha terlambat menyadari satu momen. Dia sama sekali tak menahan diri dalam menyerang, dan shinainya menghantam dengan keras ke topeng logam di head gear pelindung Kazuto. Bashiin! Suara tumbukan bernada kuat menggema sepanjang dojo.
Kazuto terus terhuyung huyung ke belakang selama beberapa langkah sampai dia akhirnya berhenti.
“K-Kamu baik baik saja, Onii-chan?”
Suguha bertanya dengan panik. Kazuto dengan ringan mengibaskan tangannya untuk menunjukkan kalau dia tak apa apa.
“.....Ah, aku kalah. Sugu memang kuat; Heathcliff sama sekali bukan bandinganmu.”
“.....Apa kamu betul betul nggak apa apa....?”
“Ya. Pertandingan selesai.”
Setelah mengatakan itu, Kazuto mengambil beberapa langkah mundur dan kemudian membuat beberapa gerakan yang lebih aneh lagi. Dia mengayunkan shinai di tangan kanannya ke kiri dan ke kanan, kemudian memegangnya di punggungnya dan membuat suara “hyuhyun”. Setelah itu, dia meluruskan punggungnya dan menggaruk kepala di balik topengnya dengan tangan kirinya, yang membuat suara bergeretak. Semua ini membuat Suguha sangat cemas.
“Ah, kepalamu terpukul, jadi......”
“B-Bukan! Ini hanya kebiasaan lama....”
Setelah mereka membungkuk satu sama lain, Kazuto duduk dalam postur formal dan mulai melepas simpul di pelindungnya.
Mereka berdua meninggalkan dojo bersama, menuju ke ruang cuci, dan membersihkan keringat di wajah mereka. Suguha awalnya hanya ingin main main; dia tak pernah menduga akan berubah jadi serius dan membuat seluruh tubuhnya kelebihan panas.
“Yang jelas, aku benar benar kaget. Onii-chan, dimana kamu berlatih?”
“Eh, pola seranganku itu.......sepertinya teknik pedangku nggak bisa diatur tanpa panduan sistem.”
Sekali lagi, Kazuto menggumamkan sesuatu yang sama sekali tak masuk akal.
“Namun itu sangat menyenangkan, mungkin aku harus mencoba kendo lagi.....”
“Sungguh!? Sungguh!?”
Suguha tiba tiba menjadi enerjik karena senyum lebar merentang di wajahnya dan dia mulai mengharapkan respon.
“Sugu, maukah kamu mengajariku?”
“Te, tentu saja! Kita pasti akan berlatih bersama!”
“Tapi nampaknya kita harus menunggu sampai otot ototku benar benar pulih.”
Kazuto mengangguk, dan Suguha tersenyum sepenuh hati. Berpikir untuk berlatih kendo sekali lagi membuatnya begitu bahagia sampai air mata menetes dari matanya.
“Hei......Onii-chan....aku.....”
Meski Suguha tak paham kenapa Kazuto kembali tertarik pada kendo, dia masih merasa senang, dan juga ingin memberitahunya tentang hobi barunya. Namun, dia dengan cepat mengubah pikirannya dan menelan kata kata yang hendak dia ucapkan.
“Hm?”
“Emm, kurasa harus tetap kurahasiakan untuk sekarang.”
“Ada apa denganmu?”
Mereka berdua mengeringkan kepala mereka dan kemudian kembali ke rumah utama melalui pintu belakang. Ibunya Midori selalu bekerja di pagi hari, jadi Suguha dan Kazuto bergiliran dalam menyiapkan sarapan.
“Aku mau mandi dulu, Onii-chan apa kamu ada rencana untuk hari ini?”
“Ah.....hari ini, aku.......aku mau ke rumah sakit.......”
“.....”
Semangat tinggi Suguha mendadak tenggelam usai mendengar respon tenangnya.
“Begitu, kamu akan mengunjungi orang itu.”
“Ah.....hanya itu hal yang bisa kulakukan pada poin ini.”
Orang itu adalah orang yang paling penting baginya di dunia lain, dan Suguha mendengar ini secara langsung darinya satu bulan yang lalu. Pada saat itu, Suguha berada di kamar Kazuto; keduanya duduk bersebelahan, dan Kazuto tengah meneguk secangkir kopi sambil ia menjelaskan semua rinciannya. Suguha yang sebelumnya tak akan pernah percaya kalau orang orang bisa jatuh cinta di dunia virtual. Namun sekarang, dia akhirnya bisa memahami. Selain itu – kapanpun Kazuto berbicara tentang orang itu, air mata selalu berlinang di pipinya.
Kazuto berkata kalau mereka masih bersama sampai saat terakhir. Mereka berdua pasti akan kembali ke dunia nyata bersama. Namun ketika kesadaran Kazuto pulih, orang itu masih tetap tertidur. Tak ada apapun terjadi – atau mungkin sesuatu terjadi namun tak ada yang menyadarinya. Semenjak saat itu, selama Kazuto punya waktu, dia akan mengunjungi rumah sakit setiap tiga hari untuk menjenguk orang itu.
Suguha bisa melihatnya dengan jelas. Kazuto, duduk di depan orang yang tertidur itu, memegang tangannya seolah mereka pernah saling berpengangan tangan, saling memanggil dengan tanpa lelah. Segera setelah ia memvisualkan gambaran itu, perasaan yang tak bisa dijelaskan terasa mengapung di atas hatinya. Dadanya terasa sakit dan sesak, dan setiap nafas terasa berat. Dia memeluk dirinya dengan erat dengan kedua tangannya dan secara langsung duduk di tempatnya berada.
Dia ingin Kazuto tetap tersenyum. Sejak dia kembali dari dunia itu, Kazuto menjadi lebih terbuka dari sebelumnya. Dia mulai banyak mengobrol dengan Suguha. Sifatnya bahkan menjadi lebih lembut dan tak lagi membuat tuntutan yang aneh aneh. Rasanya mereka kembali ke masa anak anak mereka. Sehingga Suguha menyadari betapa pentingnya orang itu saat dia melihat air mata kakaknya. Pada poin itu ia mulai membujuk dirinya.
“--------Tapi aku, aku, aku sudah menyadari......”
Saat Kazuto menutup matanya untuk mengenang tentang orang itu, Suguha merasa seolah hatinya tak bisa berhenti kesakitan, seolah dia mati matian berusaha menyembunyikan perasaan yang lain.
Saat dia melihat Kazuto menuangkan susu ke gelas di meja dan kemudian meneguknya, Suguha berbisik pada dirinya sendiri di dalam hatinya.
“--------Hei, Onii-chan, aku, aku sudah tahu.”
Sebelumnya saudara kandung sekarang sudah jadi sepupu; namun Suguha tak paham kenapa berakhir seperti ini.
Namun sesuatu memang berubah. Meski dia tak terlalu memikirkan hal itu sampai saat ini, rahasia kecil terus berkedip kedip dalam hatinya.
Mungkin saja dia menyukai Onii-chan; namun kalau harus seperti ini, itu juga tak apa apa.
Setelah mandi, aku mengganti pakaianku dan pergi naik sepeda yang baru aku beli sekitar satu bulan lalu. Dengan sepeda, 15 kilometer menuju tujuanku terasa cukup jauh, namun beban itu cukup baik untuk tubuhku yang masih dalam pemulihan.
Perjalananku akhir akhir ini membawaku ke rumah sakit yang baru dibangun di pinggiran kota Tokorozawa, prefektur Saitama.
Bangsal teratas dari rumah sakit, lokasi dimana dia berbaring dengan tenang.
Dua bulan lalu, di puncak lantai ke-75 dari «Aincrad», aku telah mengalahkan boss akhir «Holy Sword» Heathcliff, dan dengan melakukan itu berhasil menyelesaikan Game. Setelah itu, aku terbangun di kamar rumah sakit. Beserta itu, aku mendapati diriku kembali ke dunia nyata.
Namun dia, partnerku, orang terpenting bagiku, Asuna sang «Flash», ternyata tidak bangun.
Tak ada banyak kesulitan untuk bertanya tentang dia. Tak lama setelah aku tersadar di rumah sakit Tokyo, aku meninggalkan kamar rumah sakit, berjalan jalan dengan langkah tak stabil, dan segera ditemukan oleh perawat yang membawaku kembali. Beberapa menit kemudian, seorang pria berjas datang terburu buru mendatangiku sambil terengah engah. Dia menyatakan dirinya sebagai perwakilan dari «Kementrian Dalam Negeri – Divisi Tindakan Balasan SAO».
Organisasi dengan nama besar itu nampaknya dibentuk akhir akhir ini segera setelah insiden SAO berlangsung, namun dalam dua tahun itu, tak ada yang mereka bisa lakukan. Namun, itu juga tak terhindarkan. Kalau mereka dengan ceroboh mengutak atik server, tanpa membatalkan program perlindungan yang dibuat oleh programmer Kayaba Akihiko, dalang dari insiden ini, maka otak dari sepuluh ribu orang akan hancur. Tak ada yang bisa memikul tanggung jawab itu.
Mengumpulkan anggota, mereka membuat persiapan untuk mengobservasi baik baik status para korban yang berbaring di rumah sakit. Satu harapan mereka – secercah cahaya kecil, namun tugas yang berat – adalah mensurvei informasi pemain melalui data server.
Sehingga mereka mengikuti perkembanganku yang berada di garis depan, memperhitungkan level, posisi, dan peranku sebagai pemain vital dalam «Capture Group» yang mencoba menyelesaikan Sword Art Online. Sehingga, saat para pemain SAO mulai bangkit di seluruh negara, para agen Kementrian mulai menyerbu ke kamarku, berharap bisa memahami apa yang baru terjadi.
Aku mengungkapkan kondisiku pada pihak pemerintah dengan orang orang berkacamata hitam yang berada pada pandanganku. Aku akan beritahu mereka semua yang aku tahu. Sebagai gantinya, mereka akan memberitahuku semua yang aku ingin tahu.
Hal yang ingin kuketahui tentu saja tentang keberadaan Asuna. Setelah beberapa menit menelepon, pria berkacamata menoleh padaku dan berbicara, kebingungan nampak jelas di wajahnya.
“Yuuki Asuna telah dipindahkan ke institusi medis lain di Tokorozawa. Namun, dia belum bangun.......dan bukan dia saja, 300 pemain lain sepanjang negara juga belum terbangun.”
Awalnya mereka berpikir kalau ini hanyalah hasil dari spike lag yang terjadi pada server. Namun, jam telah berubah menjadi hari dengan Asuna dan yang lainnya tak juga terbangun.
Benar atau tidaknya rencana Akihiko Kayaba yang menghilang masih berlanjut menimbulkan kekacauan sepanjang dunia, namun pandanganku justru sebaliknya. Aku masih mengingat kehancuran Aincrad, yang diselimuti oleh matahari tenggelam berwarna merah.
Dia benar benar telah mengatakannya. Dia akan melepaskan semua pemain yang tersisa. Lebih jauh lagi, dia tak memiliki alasan untuk berbohong. Dia benar benar sudah membiarkan dirinya lenyap bersama dunia itu, aku sangat mempercayai hal itu.
Namun, entah itu insiden tak terduga atau adanya campur tangan dari seseorang, sever SAO, yang seharusnya sudah direset/diformat ulang, terus beroperasi. Nerve Gear Asuna juga bukan perkecualian, mengikat jiwanya kedalam dunia itu. Apa yang terjadi di dalam sana, aku tak tahu, tapi kalau......kalau.....kalau saja aku bisa kembali ke dunia itu sekali lagi—
Kalau Suguha tahu apa yang kulakukan saat itu, dia pasti akan marah. Usai meninggalkan pesan, aku memasuki kamarku dan memasang Nerve Gear dan memulai client SAO. Namun, sebuah pesan error dengan dingin muncul di hadapan mataku, «Error: Cannot connect to server».
Sekali rehabilitasku selesai, kebebasanku dalam bergerak sudah pulih kembali, dan dari saat itu sampai sekarang, aku terus menerus menengok Asuna.
Itu adalah waktu yang sulit bagiku. Perasaan dari seseorang yang lebih penting dari siapapun direbut secara tak beralasan dariku terasa sangat menyakitkan dari luka fisik atau mental apapun. Bahkan lebih menyakitkan bagi aku yang sekarang, yang tak ubahnya anak kecil tak berdaya.
Melanjutkan perjalanan 40 menit, mengayuh dengan lamban, aku keluar ke jalan utama dan berbelok ke jalan berbukit yang berangin. Tak lama kemudian, bangunan besar muncul di depanku. Itu adalah insitusi medis yang diatur secara pribadi, dan tampak bagai karya seni.
Penjaga keamanan di pintu masuk, sekarang sudah menjadi wajah familiar, tak lagi menanyakan alasan kedatanganku. Aku memparkir sepedaku di sudut parkiran besar. Di meja resepsi lantai pertama, yang memiliki penampilan seperti lobi kelas tinggi, aku diberi tanda masuk pengunjung. Aku menempelkannya di dadaku dan masuk ke dalam elevator.
Dalam beberapa detik, aku mencapai lantai teratas, lantai 18, dan pintu perlahan terbuka. Aku berjalan ke arah selatan sepanjang koridor kosong. Lantai ini memiliki banyak pasien jangka panjang, namun melihat orang lain disini adalah kejadian langka. Akhirnya, di sudut koridor, pintu berwarna hijau pucat tampak olehku. Ada sebuah lempeng nama tertempel di dinding di sebelah pintu.
«Yuuki Asuna», dibawah nama itu terdapat celah penggesek tipis, tempatku menggesekkan tanda pengenal. Aku melepas tanda masuk dari dadaku dan meluncurkannya sepanjang celah itu. Pintu bergeser membuka dengan suara elektronik kecil.
Melangkah ke dalam ruangan, aku terselimuti oleh aroma bunga menyegarkan. Bunga bunga segar yang tak cocok dengan musim dingin nampak menghiasi ruangan. Interior di dalam kamar rumah sakit yang luas ini ditutupi oleh korden, yang dengan perlahan kumasuki.
“Mohon izinkan dia bangun—“
Aku menyentuh kain, berdoa untuk keajaiban dan dengan lembut membuka korden ruangan.
Unit perawatan intensif tanpa akhir yang terpasang pada tubuhnya sama denganku – bahkan kasurnya juga sama. Cahaya matahari sedikit menyinari selimut putih, dan jatuh dengan lembut di wajah Asuna. Kalau aku tak tahu apa apa, aku pasti menganggap kalau dia hanya tertidur.
Saat aku pertama berkunjung, aku memiliki pemikiran ini: akankah dia tak setuju kalau aku melihatnya seperti ini? Kekhawatiran itu sudah berlalu sejak dulu. Wajahnya nampak sangat cantik.
Rambut kastanye tua indahnya, tergerai seperti air di kasur putih disekitarnya; kulit putih pucatnya, dengan semburat warna mawar di bibirnya.
Dari leher sampai tulang selangkanya, fiturnya nampak sama persis dengan yang terlihat di dunia itu. Bibir berwarna cherry muda. Alis panjangnya, bergetar seolah mereka akan membuka kapan saja. Kalau saja bukan karena helm itu, itu saja.
Nerve Gear. Tiga cahaya LCDnya yang berkilau dengan pucat berkelap kelip seperti bintang, bukti kalau ia masih beroperasi. Bahkan sekarang, jiwanya masih terjebak dalam suatu dunia. Aku menggenggam tangan kanan mungilnya dengan kedua tanganku, merasakan kehangatannya. Perasaan dari genggaman lembutnya terasa sama seperti sebelumnya. Aku menahan nafasku, mati matian menahan air mata yang hendak tumpah.......
“Asuna........”
Suara dering jam alarmnya membawaku kembali pada realita. Tanpa kusadari, waktu sudah tengah hari.
“Aku harus pergi, Asuna. Aku akan segera datang kembali.”
Aku kemudian mendengar suara pintu masuk yang bergeser membuka, dan aku mengalihkan perhatianku pada dua pria yang memasuki bangsal.
“Oh, Kirigaya-kun. Maaf sudah mengganggu.”
Seorang pria yang lebih tua berdiri di depannya dengan ekspresi wajah kalem, sambil memasukkan kartu di tangannya ke sakunya. Dari fisik dan penampilannya, dia nampak seperti pria yang bersemangat dan percaya diri, namun rambut abu abunya adalah hasil dari dua tahun mencemaskan putrinya. Ini adalah Ayah Asuna, Yuuki Shozou. Aku sudah mengetahui dari Asuna sebelumnya kalau ayahnya adalah pengusaha, namun itu tak membuatku terkejut sampai aku mengetahui bahwa dia adalah CEO dari perusahaan elektronik «RECTO».
Aku sedikit membungkukkan kepalaku dan berbicara.
“Hallo. Maaf sudah mengganggu, Yuuki-san.”
“Tak apa, tak apa. Melihatmu selalu datang seperti ini, seharusnya aku yang minta maaf. Aku yakin kalau anak itu pasti sangat senang.”
Dia berjalan ke bantal Asuna, dengan lembut membelai rambutnya sambil menatap sedih pada wajah Asuna. Tak lama kemudian, dia memperkenalkan pria yang berdiri di belakangnya.
“Ini adalah orang baru. Ia adalah direktur dari institut penelitian kami, Sugou-kun.”
Kesan pertamaku tentangnya adalah positif. Ia bertubuh tinggi, mengenakan jas abu abu gelap, dengan sepasang kacamata berbingkai kuning yang diseimbangkan diatas jembatan hidungnya. Matanya tersembunyi dibalik lensa tipisnya, dan senyum lembutnya menyempurnakan semua imej itu. Aku membayangkan kalau dia mungkin berumur 30-an.
Dia mengulurkan tangannya sambil berkata.
“Senang bertemu denganmu. Aku Sogou Nobuyuki. Kamu pasti sang Pahlawan Kirigaya-kun itu.”
“Kirigaya kazuto. Senang bertemu anda.”
Aku menjabat tangan Sogou dan menolehkan kepalaku untuk melirik arah Yuuki Shozou, tangannya menopang kepalanya yang agak sedikit jatuh.
“Tentang itu, maaf. Server SAO sudah ditutup. Insiden ini hampir seperti yang sering kamu lihat di TV. Dia adalah putra paling terpercayaku. Untuk sementara waktu ini, dia masih belum membuat kontak dengan keluarga.”
“Presiden, masalah ini adalah—“
Sogou melepaskan tangannya, dan menoleh pada Shouzou untuk berbicara.
“Bulan depan, saya ingin memberitahu semua orang.”
“Begitukah? Tapi apa tak apa apa? Kau masih muda, hidupmu baru saja dimulai......”
“Saya sudah berubah pikiran. Saya ingin mengambil keuntungan di saat ini ketika Asuna masih cantik......dan membuatnya mengenakan gaun pengantin.”
“Sepertinya kau sudah memikirkan hal itu masak masak.”
“Kalau begitu, aku permisi dulu. Sampai jumpa Kirigaya-kun.”
Dia menganggukkan kepalanya, berbalik dan berjalan keluar dari pintu, menutup pintu di belakangnya. Satu satunya lelaki yang tersisa di ruangan ini hanya Sogou dan aku.
Sogou Nobuyuki perlahan bergerak ke sisi ranjang, berdiri berlawanan dariku. Dia membelai rambut kastanye Asuna, membuat suara kecil saat tangan kanannya bergerak sepanjang rambutnya. Hal itu membuatkua merasa agak jijik.
“Saat kau berada dalam Game, kau hidup bersama Asuna, kan?” Ujar Nobuyuki-san.
“.....uhm......”
“Kalau begitu, maka hubungan diantara kita mungkin agak rumit.”
Sogou melihat ke atas, dan kami membuat kontak mata. Pada saat itu, aku menyadari kalau kesanku terhadap pria ini tak mungkin terlalu jauh dari kebenaran.
Melalui kacamata tipisnya, pupil kecilnya memberiku kesan seorang sanpaku, bibir meruncing dalam senyuman. Itu semua memberikan perasaan dingin tak berperasaan. Keringat dingin menetes di punggungku.
“Tentang yang baru kukatakan.......”
Sugou memasang senyum bosan.
“Yakni, pernikahan Asuna denganku.”
Aku tak bisa memahami kata katanya. Apa yang dia baru katakan? Ucapan Sugou membuat seluruh tubuhku diserbu perasaan dingin. Setelah beberapa saat kesunyian, aku akhirnya berkata,”Apa kau pikir aku akan membiarkanmu lolos dengan itu?”
“Oh, sudah tentu. Untuk menerima persetujuannya dalam kondisi semacam ini akan cukup mustahil. Di atas kertas, aku adalah putra adopsi dari keluarga Yuuki. Namun kenyataannya, dia sudah cukup lama membenciku.”
Jemari Sugou mendekati bibir Asuna.
“Hentikan!”
Aku tanpa sadar menggenggam tangan Sugou, menjauhkannya dari wajah Asuna.
Merasa marah, aku berteriak “Brengsek kau.....kau berani memanfaatkan kondisi Asuna!?”
“Memanfaatkan? Bukan bukan, ini masih di dalam batas. Jujur saja, Kirigaya-kun. Apa kau tahu yang terjadi pada perusahaan SAO, «Argus»?”
“Kudengar mereka bangkrut.”
“Benar. Biaya pengembangan, serta biaya semua kerugian yang membuat mereka berhutang banyak, dan perusahaan itu akhirnya bangkrut. Sehingga, perawatan server SAO sekarang dibawah tanggung jawab departemen teknologi FullDive RECTO. Lebih tepatnya, departemenku.”
Dari sisi lain ranjang, Sugou menoleh untuk menatapku. Memasang senyum iblis, dia bergerak mendekat ke pipi Asuna.
“Anggap saja begini, dia masih hidup karena aku mengizinkannya. Sehingga, tidakkah menurutmu aku pantas mendapat balasan untuk semua kerja kerasku? Apa aku salah?”
Mendengar hal itu hanya memperkuat penolakanku.
Pria ini ingin memanfaatkan situasi Asuna, memakai hidupnya demi ambisi pribadinya sendiri.
Berbalik dan berdiri, melihat dengan tegas ke arahku, senyum lenyap dari wajahnya. Dengan nada dingin, dia berbicara padaku.
“Aku tak tahu apa yang terjadi padamu dan Asuna dalam Game, tapi aku ingin kau enyah dari hidupnya dari sekarang. Kuharap kau tak membuat kontak masa depan dengan Yuuki dan keluarganya.”
Aku meremas tinjuku, marah pada ketidakmampuanku untuk berbuat sesuatu. Aku merasa begitu payah.
Beberapa momen kesunyian berlalu. Kemudian, Sugou berbicara dengan nada menghina.
“Upacara pernikahan akan diselenggarakan minggu depan tepat disini di bangsal ini. Kuharap kau akan datang. Hargailah pertemuan terakhirmu ini, Pahlawan-kun.”
Aku ingin pedang. Aku akan menembus jantungnya dan merobek dadanya. Aku tak tahu apa dia bisa melihat kemarahan dalam diriku, tapi dia menepuk nepuk bahuku, berbalik dan dengan santai meninggalkan ruangan.
Saat aku pulang, memori pertemuan kami masih terasa segar dalam pikiranku. Aku berbaring di ranjangku dan menatap dinding dalam kegelisahan.
“Yakni, pernikahan Asuna denganku.”
“Dia masih hidup karena aku mengizinkannya.”
Pertemuanku dengan Sugou terus terulang dan terulang dalam kepalaku, seperti film yang tiada habisnya. Hatiku terasa seperti gumpalan logam yang memerah membara.
Namun----------Ini semua mungkin karena rasa kesadaran diriku yang terlalu kuat.
Sugou adalah orang yang selalu paling dekat pada keluarga Yuuki. Ini juga alasan dia bisa menjadi tunangan Asuna. Dipercaya sepenuh hati oleh Yuuki Shouzou, dia juga membawa tanggung jawab besar pada Recto. Asuna mungkin diatur untuk menikah dengan pria ini jauh sebelum kami bertemu di Aincrad. Dibandingkan dia, waktu kami bersama mungkin tak lebih dari ilusi. Penghinaan karena harus menyerahkan Asuna demi hasrat pria itu, yang menurutku, tak ubahnya lelucon anak anak.
Bagi kami, kota terapung Aincrad adalah dunia nyata. Sumpah yang telah kami buat disana, kata kata, semuanya berbinar dengan kecemerlangan seperti berlian.
“Aku ingin tetap di sisi Kirito selamanya-------“
Kata kata dan senyum Asuna dengan perlahan melintasi pikiranku.
“Maafkan aku.......maafkan aku, Asuna......aku tak bisa berbuat apa apa.”
Air mata kesedihan mengalir di pipiku, potsu,potsu ke atas tinjuku yang tergenggam.
“Onii-chan, kamar mandinya sudah kosong!”
Suguha berteriak ke kamar Kazuto, yang terletak di lantai kedua, namun tak ada respon.
Sore itu, setelah kembali dari rumah sakit, Kazuto terus mengunci dirinya di dalam kamar, tak mau turun bahkan untuk makan malam.
Suguha menempatkan tangannya di kenop pintu, namun ragu ragu. Kalau dia belum tertidur maka mungkin dia terkena demam, pikir Suguha, memperkuat keyakinannya sambil memutar gagang pintu.
Kacha--. Pintu terbuka dan menampakkan ruangan gelap.
Dia pasti sedang tertidur, pikir Suguha, dan saat dia hendak berbalik meninggalkan ruangan, embusan udara angin terasa sedikit bertiup, membuatnya menggigil. Jendela nampaknya terbuka. Sepertinya tak ada cara lain, pikirnya, sambil menggeleng kepalanya.
Dia berjalan berjingkat jingkat sepanjang ruangan, menuju ke arah jendela......hanya untuk mendapati kakaknya tengah meringkuk di atas ranjang, dengan kondisi masih bangun.
“Ah, Onii-chan, maaf. Kukira kamu sudah tidur.” Adalah respon gugup Suguha.
Setelah beberapa momen kesunyian, Kazuto membalas dalam suara tanpa emosi, “Maaf, tapi bisa tolong biarkan aku sendiri?”
“Tapi, tapi, ruangan ini terasa dingin.....”
Suguha mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Kazuto. Tangannya terasa dingin bagai es.
“Ini nggak bagus. Tanganmu membeku; kamu akan demam kalau begini. Lekaslah mandi.”
Sejumlah cahaya menembus masuk melalui korden dari lampu jalanan, menyinari wajah Kazuto. Pada momen ini, Suguha menyadari sesuatu yang telah terjadi pada kakaknya.
“Apa yang terjadi?”
“Bukan apa apa.”
Balasannya seperti bisikan yang tercekik.
“Tapi.....”
Tanpa menunggu Suguha selesai bicara, Kazuto mengubur wajahnya di kedua tangannya. Menyembunyikan dirinya dari Suguha, dan dengan tanda penistaan diri, dia berkata, “Aku sungguh tak berguna. Belum begitu lama saat aku bersumpah untuk tak lagi mengatakan kata kata kekalahan semacam itu.......”
Di tengah kata katanya, Suguha sudah menyadari apa yang telah terjadi. Berbicara dengan suara pelan dan bergetar, dia bertanya “Orang itu.......Asuna-san.....apa yang terjadi padanya?”
Tubuh Kazuto mengejang. Dalam suara pelan, terisi rasa sakit, dia menjawab, “Asuna.....telah pergi entah kemana......tempat yang jauh. Tempat.....dimana tanganku tak bisa menjangkaunya......”
Kali ini Suguha merasa jelas. Melihat Kazuto, yang menangis seperti anak anak di depannya, hati Suguha tersentuh.
Ia menutup jendela, menutup korden, dan menyalakan pemanas ruangan, kemudian duduk di sisinya. Ia ragu ragu untuk sesaat, sebelum menggenggam tangan dingin Kazuto lagi. Tubuh meringkuk Kazuto nampak rileks dalam sekejap.
Suguha berbisik di telinganya.
“Jangan sedih. Kalau dia memang sangat kamu cintai, kamu tak boleh menyerah semudah itu.”
Kata kata itu tak datang dengan mudah, dan mengucapkannya, hatinya seolah telah teriris oleh pedang. Perasaan dari jauh di dalam hatinya melahirkan rasa sakit ini. Aku menyukai Kazuto Onii-chan, adalah perasaan yang datang menerpa Suguha kali ini.
“---------Aku juga. Aku tak bisa membohongi diriku lagi.”
Suguha menopang kakaknya, dengan lembut menurunkannya ke ranjangnya. Mengambil selimut ranjangnya, ia dengan lembut menaruhnya di atas tubuh Kazuto.
Berapa lama dia memeganginya, dia sendiri tak tahu, namun tangisan kesedihan Kazuto mulai menjadi suara tidur penuh damai. Suguha menutup matanya, hatinya perlahan berbisik pada dirinya.
“—Satu satunya pilihanku adalah menyerah. Yang bisa kulakukan hanyalah mengubur perasaan ini jauh, jauh di dalam hatiku.”
Karena di dalam hati Kazuto, dia sudah ada disana.
Air mata perlahan mengalir di pipi Suguha, kemudian jatuh ke seprai ranjang, sebelum akhirnya lenyap dengan cepat.
Tidurku yang manis dan nyaman terganggu oleh rasa hangat yang tiba tiba.
Aku masih belum benar benar bangun, namun ada kehangatan aneh mengalir padaku, seperti cahaya matahari yang menembus cabang pohon, membelai pipiku.
Mataku tertutup, dan aku memeluk sosok tidurnya. Kami berada sangat dekat sampai aku bisa merasakan nafasnya, jadi aku membuka sedikit mata—
“Uwwahh!?”
Aku segera berteriak, dan melompat sekitar lima puluh senti. Tubuhku terlempar dalam posisi duduk, dan dengan cepat melihat ke sekeliling.
Inilah yang selalu kulihat dalam mimpiku. Aincrad, lantai kedua puluh dua dari hutan rumahku – mustahil.
Bagian dari realita ada disini, kamarku dan ranjangku. Namun, selain aku, ada orang lain disini.
Aku dibuat membisu. Usai bangun secara penuh, aku dengan cepat bangun dan meletakkan selimut kembali di tempatnya. Dengan rambut hitam pendeknya, alis tebalnya, Suguha berbaring dalam piyamanya, tertidur di atas bantalku.
“Kenapa.....kenapa ini......”
Setelah berpikir baik baik, aku akhirnya ingat apa yang terjadi tadi malam. Benar sekali, tadi malam setelah kembali dari rumah sakit, nampaknya aku sempat berbicara sedikit dengan Suguha. Diantara keputusasaan dan rasa sakit yang membuatku menangis, dia menghiburku, dan akhirnya, aku tertidur.
“Astaga, seperti anak kecil saja.”
Setelah merasa sedikit malu, aku menatap Suguha, yang masih tertidur pulas. Dia tak seharusnya melakukan ini.
Aku tiba tiba ingat kalau hal yang sama dengan ini pernah terjadi di dunia “itu”. Suguha sangat mirip dengan gadis penjinak hewan yang kutemui di sekitar lantai ke empatpuluh. Dia, juga, menyelinap ke ranjangku, yang membuatku sama kelimpungannya.
Aku tersenyum sambil mengingat itu. pertemuanku dengan Asuna dan Sogou Nobuyuki terus membuatku kepikiran, namun rasa sakit menusuk nusuk di hatiku perlahan lenyap sejak tadi malam.
Memoriku di dunia itu – kota terapung Aincrad – adalah harta karun penting bagiku. Memori bahagia, memori sedih – terlalu banyak untuk dihitung – namun semua memori itu nyata, dan tak akan kuanggap selain itu, termasuk kesepakatan diantara Asuna dan aku untuk bertemu bersama di dunia ini sekali lagi. pasti ada sesuatu yang bisa aku lakukan.
Saat aku tengah memikirkan itu, dari depanku, gumaman ngelindur Suguha mencapai telingaku.
“Menyerah.......itu nggak boleh.....”
“Yang kamu katakan itu sangat betul.” Aku berbisik balik.
Kemudian, sambil duduk, aku menyentil wajah Suguha dengan jariku.
“Hei, bangun, ini sudah pagi.”
“Hmmph.”
Dia mengeluarkan erangan tidak senang. Aku menyibak selimutnya dan mencubit pipinya.
“Ayo bangun, ini sudah siang.”
Suguha akhirnya membuka matanya.
“Ah. Selamat pagi, Onii-chan,” Dia bergumam, sambil dengan malas memanjat naik dari selimut.
Kemudian, dia menatapku dengan terkejut dan dengan cepat melirik sekitar ruangan. Matanya yang nampak ngantuk dan setengah terbuka, mendadak terbuka lebar dan pipinya tersipu merah.
“Ah! Um, aku.....”
Telinganya memerah, tubuhnya menjadi kaku, dan ia mendadak melompat dan lari dari ruangan secepat mungkin.
“Ya ampun.”
Aku menggeleng kepalaku dan berdiri untuk membuka jendela, menghirup dalam dalam udara dingin untuk membuang semua rasa lelahku.
«Berita» sampai saat aku mengambil baju ganti untuk mandi.
Terdapat nada bersuara elektronik dan aku bisa melihat peringatan e-mail berkilat, jadi aku duduk dan bermain dengan EL Terminal.
Sejak dua tahun aku tertidur, struktur komputer telah mengalami banyak perubahan. HDD (Hard Disk Drive) tua yang kusukai, lenyap tanpa jejak dan digantikan dengan SSD (Solid Storage Drive) modern, yang sudah menjadi standar baru dan tak menghasilkan MRAM ultra tinggi. Tak ada time lag sepanjang transfer; hal itu terjadi secara spontan. E-mail yang terkirim telah di-update, dan nama si ‘pengirim’ adalah «Egil».
Di lantai ke-50 dari blok utama Aincrad tinggallah Egil, pemilik dari toko kelontong di ‘Algade’. Kami bertemu untuk pertamakalinya tanggal 20 di Tokyo dan bertukar alamat e-mail, namun ini akan jadi pertama kalinya kami saling menjalin kontak. Judul pesannya tertulis, “LIHAT INI”. Saat aku membukanya, tak ada teks sama sekali, namun hanya satu gambar.
Aku menggulir ke bawah dan membuka gambar pada monitor, kemudian menatap lekat lekat pada gambar yang ditampilkan.
Komposisinya luar biasa. Kalian bisa melihat dari karakteristik warna dan cahaya yang jelas jelas bukan di dunia nyata namun dunia ilusi, rekayasa komputer. Dalam latar belakang gambar berdiri sangkar emas dengan meja putih dan kursi putih. Seorang gadis, berdandan dalam gaun putih duduk di dalamnya. Melihat lebih dekat pada wajahnya melalui sangkar—
“Asuna!?”
Gambarnya nampak kasar, namun gadis itu, dengan rambut panjang kastanye tanpa ragu adalah Asuna, wajahnya muram dan tangannya terlipat di atas meja. Melihat lebih dekat ada sayap transparan yang merentang di belakangnya.
Aku menggenggam telepon di meja, dan segera menghubungi nomor yang kutemukan dalam buku telepon. Nada deringnya mungkin hanya beberapa detik, namun terasa bagai berjam jam. Akhirnya, sambungan terhubung dan sebuah suara berat menjawab panggilanku.
“Hallo-“
“Hei! Apa yang terjadi dalam gambar itu!?”
“Lihat, Kirito, setidaknya kenalkan dirimu dulu.”
“Aku tak ada waktu! Lekas dan beritahu aku!”
“Ceritanya panjang. Bisakah kau datang kemari?”
“Baiklah. Aku akan disana secepatnya.”
Tanpa mau menunggu balasan, aku menutup telepon dan mengambil pakaian ganti. Aku belum pernah mandi, mengeringkan rambut, dan mengenakan sepatuku begitu cepat dalam hidupku, dan dalam sekejap aku sudah meninggalkan rumah di atas sepedaku. Entah kenapa jalan ini terasa sangat panjang, meski aku sudah melintasinya berkali kali.
Kafe Egil dan bar bisnis terletak di Taito Okachimachi. Aku segera melihat dashboard hitam dan tanda logam yang dihiasi oleh dua dadu, sehingga memiliki nama, «Dicey Cafe».
Aku membuka pintu dan bertemu dengan suara gemerincing lonceng di pintu masuk. Pria botak di counter menatapku dan tertawa. Tak ada pelanggan kelihatan disini.
“Oh, kau cepat juga.”
“Bisnismu payah seperti biasanya. Bagaimana bisa bertahan selama dua tahun ini?”
“Saat ini memang lamban, tapi cukup ramai sepanjang malam hari.”
Percakapan santai ini membuat hatiku terasa tenang, seolah aku kembali di dunia itu.
Pertemuan kami adalah sesuatu yang terjadi di akhir bulan lalu. Pada saat itu, aku menerima nama asli dan alamat dari para pemain tertentu dari anggota Kementrian Dalam Negeri, Klein, Nishida, Sillica, dan Lizbeth, diantara nama nama lain. Biarpun ada banyak pemain yang ingin kutemui lagi, namun mereka semua sudah kembali ke dunia nyata, dan tetap menjalin kontak adalah perkara sulit. Tempat pertama yang akan kukunjungi pastilah toko ini.
“Jadi, apa yang kau ingin aku beritahukan padamu?”
Si pemilik toko kelihatan sedikit tak senang.
Nama aslinya adalah Andrew Gilbert Mills. Aku merasa kagum karena dia ternyata juga membuka toko di dunia nyata.
Meski secara etnis dia adalah Afrika-Amerika, orang tuanya sudah lama menyukai Jepang, dan dia membuka bar-toko kopinya disini, di Okachimachi di usia 25 tahun. Lebih jauh lagi, dari antara para pelanggannya, dia telah menemukan istri yang cantik dan baik hati. Setelah itu, dia juga, telah terjebak dalam dunia SAO selama dua tahun. Usai kembali, toko yang dia duga telah tutup sejak lama ternyata berhasil bertahan berkat usaha keras istrinya. Sungguh cerita yang menyentuh.
Jujur saja, terasa aneh karena tak ada satupun pelanggan disini. Toko ini memiliki tata letak sempit, namun dengan empat kursi dan counter, tempat yang cerah dan berwarna warni ini terasa menarik dan merilekskan.
Aku duduk di bangku kulit, memesan secangkir kopi dan mulai mempertanyakan Egil tentang gambar itu.
“Jadi, ada apa dengan gambar itu?”
Si manajer toko tak segera menjawabnya. Justru, aku melihat dia mengeluarkan sebuah bungkusan persegi panjang dari bawah counter, dan mengulurkannya padaku.
Bungkusan itu jelas adalah software Game. Aku segera menyadari itu setelah melihat cetakan jelas «Amusphere» di sudut kanan atasnya.
“Aku belum pernah dengar tentang tipe hardware ini sebelumnya.”
“«Amusphere», Ia diluncurkan saat kita masih berada di dunia itu. itu adalah teknologi FullDive generasi berikutnya, penerus dari Nerve Gear.”
Sambil aku melihat logo dengan perasaan keheranan, Egil memberikan penjelasan simpel.
Setelah insiden itu, Nerve Gear dianggap sebagai “mesin setan”, sehingga tak ada pabrik bernyali melibatkan diri mereka dalam genre teknologi Game FullDive lagi. Namun, 6 bulan setelah insiden SAO, sebuah perusahaan baru didirikan, dengan slogan “keamanan absolut”. Ia meluncurkan model penerus Nerve Gear, dan karena kami terjebak di Aincrad pada saat itu, kami tak tahu apa apa soal ini.
Itu sedikit membantuku memahami situasi, namun karena aku tak terlalu memperhatikan Game Game setelah insiden itu, aku masih tak terlalu memahami benda ini.
“Jadi, apa ini juga VRMMO?”
Aku memegangnya di tanganku dan melihatnya dengan seksama. Gambarnya menunjukkan hutan lebat dengan bulan purnama menggantung tinggi, di depannya terdapat gadis dalam busana fantasi. Pedang di tangannya, dia terbang ke langit dengan sepasang sayap transparan. Dibawah ilustrasinya, terdapat judul -- «ALfheim Online».
“ALfheim.....Online? Apa maksudnya ini?”
“Sesuai dengan namanya, itu artinya “Rumah Elf”[6]”
“Elf? Aku masih tak paham. Game ini tak terlalu serius, kan?”
“Itu, yah, mungkin saja. Kudengar itu cukup sulit dimainkan, sih.”
Egil meletakkan secangkir kopi yang mengepulkan uap di depanku, sambil tertawa. Aku mengangkat cangkir, menikmati aromanya, sambil terus bertanya padanya.
“Seperti apa kesulitannya?”
“SKILL sistem di dalamnya sangat EXTREME, dan Game berfokus pada skill pemain. PK juga dianjurkan.”
“Extreme....?”
“«Level» Tak lagi berlaku dalam Game ini. Semua skill hanya akan meningkatkan level melalui pengulangan. Sistem Battle bergantung pada kemampuan atletik si pemain, bukan teknik pedang seperti dalam SAO. Namun tak peduli pada perbedaan minor ini, teknologinya tak jauh beda dari SAO.”
“Ah. Itu terdengar cukup mengesankan.”
Aku mengeluarkan siulan kekaguman. Penciptaan Kota terapung Aincrad telah melibatkan usaha keras dari si jenius sinting Akihiko Kayaba. Kalau ada orang lain yang bisa menciptakan dunia VR dengan derajat sama adalah hal yang agak sulit dipercaya.
“PK juga dianjurkan?”
“Saat membuat, pemain bisa memilih dari beragam ras fairy, dan hanya diantara ras yang berlawanan yang membuat hal ini bisa dilakukan.”
“Itu sangat menyulitkan. Tak peduli seberapa tinggi teknologinya, rasanya itu lebih dibuat untuk para Gamer fanatik. Aku ragu benda ini bisa populer.” Ujarku sambil mengernyitkan alis.
Usai Egil mendengar keluhanku, dia membuang wajah seriusnya dan tersenyum.
“Aku juga pernah berpikir seperti itu, namun kurasa itu akan jadi populer dengan para Gamer saat ini, alasan utamanya adalah di dalam Game ini, kau punya kemampuan untuk «Terbang».”
“Terbang....?”
“Dengan sayap peri. Tak seperti game Game sebelumnya, controller dilengkapi dengan mesin penerbangan, memungkinkan pemain untuk terbang dengan bebas.”
Aku belum pernah memikirkan kemungkinan tentang terbang sebelumnya. Setelah Nerve Gear dikembangkan, banyak VR Game terbang dikembangkan, namun itu semua dikendalikan dengan kendali seperti kendaraan. Terbang dengan cara manusia tak diperkenalkan karena pemain tak punya pengalaman terbang dan sehingga takkan mampu mengendalikan kekuatan saat terbang.
Dalam dunia imajinasi ini, hal hal yang pemain bisa lakukan sama seperti yang kalian bisa lakukan di dunia nyata. Kebalikannya, hal hal yang manusia dunia nyata tak bisa lakukan disini, mereka tak bisa melakukannya disana juga. membentangkan sayap bukanlah tugas sulit, namun pergerakan otot yang berkaitan dengan menggerakkan sayap tidaklah sederhana.
Dalam SAO, Asuna dan aku memiliki kemampuan lompatan yang luar biasa, sampai kami hampir seperti terbang, namun ini dan terbang bebas adalah dua hal yang sangat berbeda.
“Semua konsep tentang terbang dan semacamnya ini memang hebat, tapi bagaimana dia tepatnya bisa bekerja?”
“Mana tahu, namun itu kurasa akan merepotkan. Untuk pemula, kau harus mengoperasikannya dengan controller joystick satu tangan.”
“....”
Tiba tiba, aku mendapat hasrat untuk menantang Game ini, tapi hal itu segera kubuang jauh jauh, dan aku kembali meneguk kopiku.
“Oke. Aku sudah agak paham Game macam apa ini. Kembali ke topik utama, apa hubungannya ini dengan gambar itu?”
Egil membawa sepotong kertas dari bawah counter, dan meletakkannya di depanku. Itu adalah kertas foto.
“Apa yang kau lihat?”
Setelah mendengar pertanyaannya, aku menatap gambar itu untuk sejenak, sebelum akhirnya menjawab.
“Sangat mirip.......dengan Asuna......”
“Figur yang akan kau anggap sama. Itu adalah screenshot, meski resolusinya agak jelek.”
“Lekas dan jelaskan padaku!”
“Itu Screenshot dari Game ini, ALfheim Online.”
Egil menyerahkan Game dan gambar padaku. Terdapat screenshot dari Game, dengan tampilan dari peta dunia serta semua wilayahnya, dan di area pusatnya terdapat sebuah pohon raksasa.
“Ini adalah Pohon Dunia, atau Yggdrasil.”
Egil menunjuk ke arah pohon.
“Tujuan para pemain adalah siapa yang paling cepat mencapai puncak dari pohon ini.”
“Lantas apa kau tidak diperbolehkan untuk terbang ke atas begitu saja?”
“Tak peduli berapa besar stamina dan daya tahan yang mereka punya untuk terbang, tetap saja ada batasnya. Untuk mencapai cabang terendah dari pohon itu dengan terbang saja sudah mustahil. Namun, masih ada orang orang yang memunculkan ide ide edan, seperti membentuk kelompok lima orang dan terbang seperti roket multi-stage yang melontarkan mereka ke atas.”
“Hahaha, apa memang begitu? Biarpun kau menyebutnya ide edan, tetap saja itu sangat kreatif.”
“Ah, sebenarnya mereka berhasil. Namun, cabang pohon itu sangat lemah, sehingga pencapaian mereka hanya sampai disitu saja. Untuk membuktikan kalau mereka berhasil melakukan ini, mereka mengambil banyak foto sebagai bukti. Salah satu dari foto itu adalah sangkar yang menggantung di sebuah cabang pohon besar.”
“Sangkar burung........”
Kata kataku mengalir dengan perasaan yang sulit dideskripsikan, yang membuat alisku terangkat. Terjebak.......pemikiran ini segera masuk dalam pikiranku.
“Foto ini diambil saat mereka berhasil mencapai cabang itu.”
“Tapi kenapa Asuna ada disana?”
Aku mengambil Game lagi, dan menatap bungkusnya.
Aku berfokus pada tulisan yang tercetak di bagian bawah kotak. «RECTO Progress».
“Ada apa, Kirito? Wajahmu kelihatan pucat.”
“Bukan apa apa......tak ada gambar lain? Misalnya, «orang lain dari SAO», selain Asuna, yang belum kembali?”
Oleh pertanyaanku, si manajer hanya mengernyitkan alisnya dan menggeleng kepalanya.
“Tidak, meski aku sudah dengar tentang hal itu. namun gambar gambar dari «ALfheim Online» tak bisa digunakan untuk menjelaskan apa apa. Jangan lekas membuat kesimpulan hanya karena ini.”
“Ya, aku tahu.”
Aku menundukkan kepalaku, memikirkan apa yang pria itu – Sugou Nobuyuki – telah katakan padaku.
Manajer dari server SAO sekarang adalah dia, ia mengatakan itu sendiri. Ngomong ngomong, dia juga berkata kalau server itu seperti black box, dan tak bisa dimanipulasi selamanya. Pada saat ini, semuanya menjadi masuk akal buatku.
Namun, kalau Asuna terus tertidur, ini akan menguntungkan baginya. Lebih jauh lagi, seorang gadis yang nampak seperti Asuna terjebak dalam VRMMO didesain oleh tiada lain selain antek antek RECTO, tak mungkin itu semua hanya kebetulan.
Aku berpikir untuk menghubungi Kementrian Dalam Negeri, namun aku segera mengubah pikiranku. Kesimpulanku masih terlalu dangkal, dan aku tak punya bukti nyata.
Aku melihat ke atas, menatap pada Egil.
“Egil, boleh aku memiliki ini?”
“Tak masalah.....kau mau mencobanya?”
“Ya, aku ingin mengkonfirmasi ini sendiri.”
Untuk pertama kalinya, Egil menunjukkan ekspresi keraguan. Kami berdua memahami betapa bahayanya VR.
Aku mengangkat bahuku, dan tertawa.
“Kurasa kalau aku ingin mencoba ini maka aku harus membeli konsol baru.”
“Nerve Gear juga bisa menjalankannya. Amusphere hanyalah versi dengan performa lebih maju.”
“Baguslah kalau begitu.”
Aku mengangkat bahu. Egil memasang senyum tipis.
“Yah, ini bukan pertamakalinya kau menyelamatkan seseorang yang terjebak dalam kesadarannya sendiri.”
“Tak masalah berapa kalipun dia terjebak atau terpenjara atau berapa kali aku harus melakukan ini.”
Dan seperti itulah. Asuna dan aku belum menjalin kontak apapun selain melalui internet via Nerve Gear. Tiada suara atau surat yang sudah kuterima.
Namun hari hari penantian itu berakhir sudah. Menghabiskan kopiku dalam satu tegukan, aku berdiri. Counter Egil nampak jadul, mirip dengan tokonya di SAO, sama sekali tak dilengkapi mesin kasir elektronik dan semacamnya. Aku mengeluarkan beberapa uang receh dan meletakkannya di counter.
“Kalau begitu aku kembali dulu. Terima kasih sudah mengundangku, dan untuk informasinya.”
“Kau bisa membayar informasiku dengan cara lain. Pokoknya kau harus selamatkan Asuna, maka kita akhirnya bisa mengakhiri semua ini.”
“Itu benar. Suatu hari, ini semua akan berakhir.”
Aku memukul telapak tanganku dengan tinjuku. Kemudian aku membuka pintu, dan pergi.
Suguha berbaring di ranjangnya, sebelum bergulung untuk mengubur wajahnya kedalam bantal, dan menendang nendang ranjangnya selama beberapa menit.
Saat ini tengah hari, namun dia masih mengenakan piyama. Hari ini Senin, tanggal 20 januari, dan liburan musim dingin akhirnya selesai, namun Suguha, di semester ketiganya di tahun ketiga SMP-nya bisa berangkat sesuka hatinya. Untuk alasan itu, dia berangkat hanya untuk menunjukkan wajahnya di klub kendo.
Saat ini pikirannya tengah mengulang memori itu lagi dan lagi, dan dia sudah kehabisan menghitung entah berapa kali hal itu terulang.
Tadi malam – untuk menghangatkan tubuh beku Kazuto, dia mengubur diri ke dalam selimut bersamanya, dan tubuh mereka lekat satu sama lain sebelum akhirnya tertidur. Mungkin itu hanya terjadi sepuluh detik sebelum mereka benar benar tertidur, dan tindakannya itu saat ini membuatnya sangat menyesal.
“....Aku sungguh bodoh! Bodoh! Bodoh!” dia berteriak sejadi jadinya dengan memukul mukul bantal dengan tinjunya.
Setidaknya aku bisa bangun sebelum dia menyelinap keluar, tapi dia malah bangun lebih dulu, bagaimana bisa aku melihatnya sekarang?
Perasaan malu dan tak nyaman bercampur dengan perasaan cinta tersembunyinya, dan rasa sakit menusuk di dadanya menolak untuk membiarkannya bernafas. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, dan tiba tiba menyadari kalau piyamanya masih membawa aroma kakaknya, membuat desir aneh muncul di hatinya.
Yang jelas, mengayunkan shinai akan membantunya membuang semua pikiran itu, pikirnya, sambil mengangkat kakinya. Dalam kegugupannya, ia tak yakin apakah lebih baik mengenakan kendogi nya, atau baju biasa, namun ia dengan cepat berganti baju dan keluar ke halaman rumah untuk berlatih.
Kazuto pergi entah kemana hari ini – dia tak tahu dimana tepatnya, dan Ibunya, Midori, selalu pergi untuk bekerja sebelum tengah hari. Ayahnya, Minetaka, telah kembali ke Amerika tepat setelah tahun baru, meninggalkan Suguha sendiri di rumah. Dari tempat meja sarapan di lantai pertama, ia menggenggam muffin keju, menjejalkannya ke dalam mulutnya dengan cara yang sangat tak feminin, dimana tangan lainnya mengambil sekantong jus jeruk, sebelum duduk sejenak di teras.
Tepat saat dia mengambil gigitan besar, Kazuto muncul di gerbang pintu masuk, sambil mendorong sepedanya dan menangkap tatapan Suguha.
“Guu!!”
Sepotong muffin tersangkut di tenggorokannya, dan ia dengan mati matian mengibaskan tangannya untuk meminum jusnya – hanya untuk menyadari kalau sedotannya tidak ada.
“Uaah, guu---!”
“Oi oi!”
Kazuto berlari ke sisi Suguha, memegang jus dan dengan cepat memasukkan sedotan sebelum memegangnya ke mulutnya. Mati matian mengisap cairan dingin, ia akhirnya bisa menelan potongan makanan yang tersangkut.
“Uah! Mati.......kali ini kukira aku akan mati!”
“Dasar gadis tak sabaran! Bukankah kamu tahu kalau kamu harus makan pelan pelan?”
“Mmm----“
Dengan malu, dia menundukkan kepalanya dan melihat kakinya. Kazuto duduk di sampingnya, membungkuk dan mulai melepas tali sepatunya. Dalam lingkup pandangan Suguha, ia tengah menyaksikan profil Kazuto, sambil sekali lagi menggigit muffinnya. Pada saat itu, Kazuto tiba tiba berbicara,
“Oh iya, Sugu, soal tadi malam.....”
Suguha mendadak tersedak, dan buru buru meneguk jusnya.
“Y-Ya?”
“Jadi um, anu.....Terima kasih.”
“Eh....?”
Mendengar kata kata tak terduga ini, Suguha hanya bisa menatap Kazuto.
“Berkat kamu, semangatku sudah pulih kembali. Aku, aku takkan menyerah. Aku pasti akan menolongnya, dan membawanya untuk menemuimu.”
Suguha, sambil menahan sakit di hatinya, tersenyum dan menjawab. “Mm. Ganbatte!Aku juga, ingin menemui Asuna-san.”
“Kalian berdua pasti akan cepat akrab.”
Kazuto menepuk nepuk kepala Suguha kemudian berdiri.
“Kalau begitu, sampai nanti.”
Dengan itu, Kirito mulai berlari ke lantai kedua, dan melihatnya pergi berlalu, Suguha menelan potongan muffin terakhir ke mulutnya.
“--------Berjuanglah......untuk aku juga.....?”
Mencapai kolam di halaman rumah, Suguha memulai suburi. Memegang shinainya, dia mulai bergerak dengan jurus yang nampak bagai tarian, dan perlahan mulai menghangatkan tubuhnya.
Di masa lalu, mengayunkan shinainya adalah semua yang ia perlukan untuk menjernihkan pikirannya, namun hari ini entah kenapa berbeda. Yang berada dalam pikirannya terasa mustahil untuk dihapus, dan saat ini terpaku kuat di tempatnya.
“---------Aku menyukai Onii-chan.....tak apa apakah?”
Tadi malam, karena pemikiran semacam itu, dia sudah memutuskan untuk menyerah. Jauh di dalam hati Onii-chan hanya ada orang itu; hal ini sangat dia pahami, namun itu semakin membuat hatinya sakit.
“-----------Tapi.....mungkin lebih baik begini.”
Dia merasa bimbang, seperti konflik dalam dirinya, tak paham kenapa dia begitu memikirkan Kazuto. Namun ia, sangat paham “kapan” hal itu dimulai.
Dua bulan sebelumnya, Ibunya dihubungi oleh pihak rumah sakit, dan dia terbang ke rumah sakit tanpa sedikitpun keraguan, untuk berada di sisi Kazuto, mata yang basah oleh air mata dan senyum cerah kebahagiaan. Kazuto mencapai tangannya, merespon dengan nada nostalgia. Mulai dari saat itu, sebuah perasaan aneh mulai bersemi di hati Suguha. Aku ingin lebih dekat dengannya, aku ingin lebih banyak berbicara dengannya, aku ingin memeluknya dengan erat, tapi ini, tentu saja, tak bisa kulakukan.
Hanya berada di sisinya dan melihatnya dari kejauhan juga tak masalah, Suguha menenangkan dirinya, sambil ia mengayunkan shinainya sekali lagi. Dia membenamkan diri dalam latihannya sampai tak sadar berapa lama waktu sudah berlalu sampai dia berhenti untuk melihat jam, hanya untuk mendapati kalau hari telah petang.
“Ah, aku tak boleh terus begini. Ada seseorang yang harus kutemui.”
Menghentikan ayunannya, ia meletakkan shinainya di sisi pohon pinus terdekat, dan memungut handuk untuk mengelap keringatnya. Sambil ia mengangkat kepalanya untuk menatap langit, langit biru nampak tipis sepanjang awan.
Aku berjalan kembali ke kamarku, berganti baju, dan menyalakan teleponku untuk bergetar. Aku duduk di atas ranjang dan membuka ranselku, dan mengeluarkan Game yang Egil berikan padaku.
«ALfheim Online».
Aku belum pernah mendengar nama ini, jadi aku membaca buku petunjuknya.
Pada dasarnya, sebelum memainkan MMORPG, aku akan kumpulkan informasi melalui sejumlah majalah dan forum, namun kali ini aku bahkan tak ragu ragu. Aku membuka bungkus Game dan mengeluarkan ROM di dalamnya. Aku mencolokkan router Nerve Gear kedalamnya, dan memasukkan ROM ke dalam slotnya. Setelah beberapa detik, cahaya indikator utama berhenti berkilat, dan berubah menjadi padat.
Duduk di sisi ranjang, aku menempatkan Nerve Gear di mataku dengan kedua tanganku.
Nerve Gear yang dulu berkilau saat ini sudah sedikit rusak, dan catnya terkelupas disana sini. Selama dua tahun, ia terus menjadi pemenjaraku sekaligus rekan yang selalu bisa kuandalkan.
“---------Sekali lagi, tolong pinjamkan aku kekuatanmu.”
Dengan itu dalam pikiranku, aku menaruh Nerve Gear di kepalaku dan mengencangkan tali di dagu. Dengan bingkai dan kacamata sudah terpasang, aku memejamkan mataku.
Kecemasan dan kegirangan membuat jantungku berdegup dengan kencang, saat aku mencoba menurunkan detak jantungku yang menggila, aku mengatakan ‘LINK START’!
Cahaya yang melintas di penutup mataku perlahan lenyap. Transmisi dari saraf penglihatanku telah terpotong, dan mataku terselimuti oleh kegelapan.
Tak lama kemudian, logo seperti pelangi muncul, dan «Nerve Gear» tanpa bentuk secara perlahan mulai membentuk logo. Gambarnya, yang awalnya kelihatan kabur, adalah untuk tujuan mengkonfirmasi hubungan ke saraf penglihatanku. Pada akhirnya, sebaris teks muncul di bawah logo untuk mengkonfirmasi kalau hubungan visual sudah OK.
Selanjutnya adalah tes suara, dan beragam suara aneh mulai bersahut sahutan. Suara yang awalnya terdengar berantakan mulai menjadi indah dan berubah menjadi harmoni terpadu, sebelum volumenya perlahan mengecil dan akhirnya mati. Saat ini sempurna, sebaris teks muncul untuk mengkonfirmasi kalau sambungan ke saraf pendengaran juga sudah OK.
Prosedur koneksi berikutnya berlanjut. Sekarang berpindah ke perasaan sentuhan dan gravitasi, perasaan ranjangku dan bobot perlahan lenyap. Seiring tes koneksi berlanjut dengan beragam indera, sejumlah kata OK muncul yang mendandakan koneksi sukses. Kalau teknologi FULLDIVE sudah meningkat, maka proses ini bisa dipersingkat secara drastis, dan yang perlu kulakukan hanyalah menunggunya sampai selesai.
Akhirnya, OK terakhir muncul, dan tak lama kemudian membawaku yang berada dalam kegelapan ke warna warna pelangi, ilusi dari dunia Game. Setelah melintasi sejumlah cincin, aku telah sampai di dunia berbeda.
---------Sebenarnya, masih terlalu awal untuk mengatakan itu. Keluar dari kegelapan aku melihat tanda registrasi akun. LOGO utama ALfheim Online perlahan muncul, disertai oleh suara wanita yang lembut.
Mengikuti instruksi yang diberikan, aku mulai menciptakan akun dan karakterku. Di ketinggian dadaku terdapat keyboard virtual yang pucat dan berkilau dan aku memasukkan User ID dan password yang diperlukan. Aku punya pengalaman beberapa tahun sebelum memainkan SAO, jadi proses ini sangat familiar bagiku. Karena ini adalah Game MMO yang bisa didownload, aku normalnya perlu memilih metode pembayaran, namun aku sudah membeli Game ini dan ia disertai oleh free trial satu bulan.
Selanjutnya aku memilih nama panggilan untuk karakterku. Aku tak terlalu banyak berpikir, dan memasukkan nama «Kirito».
Nama ini adalah bentuk kependekan dari nama asliku, Kirigaya Kazuto, dan tak ada banyak orang yang tahu itu. Mereka yang tahu adalah para tim penyelamat dari Kementrian Dalam Negeri, dan mereka yang punya hubungan dekat denganku, misalnya presiden Recto Yuuki Shouzou dan Sugou itu. Tentu saja termasuk Egil dan Asuna, yang masih belum bangun. Bahkan Suguha dan orang tua kami tak tahu soal itu.
Dalam insiden SAO, tak satupun dari informasi ini yang diberitahu pada umum, khususnya nama karakter. Ini karena di dunia itu seringkali terjadi pertarungan antar pemain yang berdampak pada kematian mengerikan di dunia nyata. Kalau publikasi tanpa pembatasan dari informasi ini dibiarkan, maka tak akan sulit mendapati banyak surat pelanggaran hukum terlampir.
Pada saat itu, kesalahan untuk pembunuhan SAO seluruhnya ditujukan pada kepala Kayaba Akihiko, yang keberadaannya saat ini tak diketahui. Kerabat para pemain juga terus mencekal Argus untuk kerugian mereka, yang berdampak pada bangkrutnya perusahaan tersebut. Anggap saja, meski yang melakukan kesalahan terbesar adalah Kayaba itu, maka tak terhindarkan kalau arus deras pelanggaran hukum akan seluruhnya dilimpahkan pada perusahaan.
Dengan sedikit gentar aku menyadari nama yang dikenal dengan Sugou Nobuyuki, dan karena itu nama yang agak terkenal aku mengubahnya dari bentuk romani menjadi bentuk kana. Gender yang kupilih, tentu saja, laki laki.
Kemudian, suara membujukku untuk memilih karakterku. Inilah saat pemain memilih akan seperti apa karakter mereka nanti. Banyak parameter dipilih secara acak dan sistem tak menjelaskan bagaimana mereka berganti. Yang menggangguku adalah biaya tambahan akan diperlukan untuk mengubah penampilanku. Terserahlah, apa saja boleh.
Ada sembilan ras peri berbeda untuk dipilih dari saat memutuskan peran karakterku. Tiap tiap ras memiliki kekhususan dan kelemahan tersendiri yang bisa dijelaskan sebelum aku harus memilih. Salamander, Sylphs, dan Gnome sangatlah umum bagi RPG, namun Cait Sith dan Leprechaun tidak terlalu.
Aku tak berniat memainkan Game ini terlalu serius, jadi apa saja boleh bagiku. Jadi karena aku menyukai perlengkapan yang bertema gelap, aku memilih «Spriggan» dan menekan OK.
Setelah menyempurnakan setup dasar, suara buatan mulai berdering sambil berkata “Semoga Berhasil”, aku sekali lagi dikirim ke dalam pusaran cahaya. Menurut suara, aku tengah dikirim ke kampung halaman rasku, Spriggan, sebagai poin permulaan dari Game. Sensasi dari tanah menghilang, dan digantikan oleh perasaan mengapung, kemudian dengan perasaan jatuh ke dunia lain. Cahaya cerah menandai kepindahanku, dan dunia baru perlahan muncul dan nampak semakin jelas. Aku jatuh ke arah pedesaan dari jauh di atas kegelapan.
Setelah dua bulan lepas dari FULLDIVE, stimulasi ini sekali lagi menggairahkan sarafku. Dalam cara ini, aku perlahan mendekati istana ramping di pusat kota—
Pada saat itu.
Adegan di depan mataku mendadak membeku. Nampaknya ada cacat muncul disini dan disana dalam bentuk poligon yang lenyap, dan suara seperti halilintar bisa terdengar sepanjang dunia. Resolusi dari semua objek dengan tajam mulai buyar, menjadi seperti mosaik, dan dunia ini melebur dan runtuh bersamaan.
“A – Apa apaan ini!?”
Bahkan suara teriakanku tak bisa didengar – aku mulai terlempar dengan kencang sekali lagi. Pada kegelapan yang sangat luas tanpa akhir, aku turun ke tanah dalam posisi jatuh bebas.
“Harus apa aku sekarang!? AHHHHHHH!”
Teriakanku terhisap kedalam kegelapan sebelum perlahan lahan menghilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar